Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Melanjutkan pembahasan hewan air, saat ini kita akan meninjau
kelanjutannya yaitu mengenai hewan yang hidup di dua alam seperti buaya,
katak, dan kura-kura. Bagaimanakah hukum untuk hewan-hewan ini, halal
ataukah haram? Simak dalam tulisan berikut ini.
Hukum Asal Hewan yang Hidup di Dua Alam
Yang kami ketahui tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang
shahih dan tegas yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di
dua alam (laut dan darat) kecuali untuk katak. Dengan demikian binatang
yang hidup di dua alam dasar hukumnya kembali ke kaedah: “
Hukum asal segala sesuatu itu halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Perselisihan Ulama
Para ulama madzhab memiliki silang pendapat dalam masalah hewan yang
hidup di dua alam (air dan darat). Rinciannya sebagai berikut.
Ulama Malikiyah: Membolehkan secara mutlak, baik itu katak, kura-kura (penyu), dan kepiting.
Ulama Syafi’iyah: Membolehkan secara mutlak kecuali katak. Burung air dihalalkan jika disembelih dengan cara yang syar’i.
Ulama Hambali: Hewan yang hidup di dua alam tidaklah halal kecuali
dengan jalan disembelih. Namun untuk kepiting itu dibolehkan karena
termasuk hewan yang tidak memiliki darah.
Ulama Hanafiyah: Hewan yang hidup di dua alam tidak halal sama sekali karena hewan air yang halal hanyalah ikan.
[1]
Haramnya Katak
Adapun dalil haramnya memakan katak adalah hadits,
أَنَّ
طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ضِفْدَعٍ
يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ
قَتْلِهَا.
“
Ada seorang tabib menanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengenai katak, apakah boleh dijadikan obat. Kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh katak.” (HR. Abu Daud no. 5269 dan Ahmad 3/453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Al Khottobi
rahimahullah mengatakan, “
Dalil ini
menunjukkan bahwa katak itu diharamkan untuk dimakan. Katak termasuk
hewan yang tidak masuk dalam hewan air yang dihalalkan.”
[2]
Bolehkah berobat dengan katak?
Penulis ‘Aunul Ma’bud mengatakan, “Jika seseorang ingin berobat
dengan katak tentu saja ia perlu membunuhnya. Jika diharamkan untuk
membunuh, maka tentu saja dilarang pula untuk berobat dengannya. Katak
itu terlarang, boleh jadi karena ia najis atau boleh jadi karena ia
adalah hewan yang kotor.”
[3]
Apakah Buaya Halal Dimakan?
Mayoritas ulama menyatakan bahwa buaya itu haram dimakan. Imam Ahmad
rahimahullah memiliki pendapat,
يُؤْكَلُ كُلُّ مَا فِي الْبَحْرِ إِلَّا الضُّفْدَعَ وَالتِّمْسَاحَ
“Setiap hewan yang hidup di air boleh dimakan kecuali katak dan buaya.”
[4]
Jika kita memakai pendapat ulama yang mengatakan bahwa hewan air itu
menjadi haram jika ia memiliki kemiripan dengan hewan darat, maka
jadinya buaya pun bisa diharamkan. Seperti kita ketahui bersama bahwa
buaya adalah binatang bertaring dan ia memangsa buruannya dengan
taringnya. Dari sini buaya bisa saja masuk dalam pelarangan hewan
bertaring sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“
Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933)
Namun qiyas (analogi) buaya dengan dalil di atas
kuranglah tepat. Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan
hafizhohullah mengatakan,
“Adapun para ulama yang memiliki pendapat dengan mengqiyaskan hewan air dengan hewan darat yang diharamkan, maka ini
tidaklah tepat. Qiyas semacam ini bertentangan dengan nash (dalil tegas) yaitu firman Allah
Ta’ala,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan dari laut.” (QS. Al Maidah: 96).”
[5]
Kami lebih tentram memilih pendapat yang mengatakan bahwa
buaya itu halal dimakan karena
tidak ada dalil tegas yang mengharamkannya sehingga kita kembalikan ke
hukum asal, segala sesuatu itu halal. Jika kami menyatakan halal, bukan
berarti wajib atau sunnah untuk dimakan,
cuma boleh saja. Jika jijik atau tidak suka, yah silakan. Yang kami bahas adalah masalah hukumnya.
Pendapat Ulama Besar Mengenai Buaya, Kura-kura, Kepiting dan Landak Laut
Pertama: Fatwa Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia)
Pertanyaan: Apakah dibolehkan memakan kura-kura, kuda laut, buaya, landak laut? Ataukah hewan-hewan tersebut haram dimakan?
Jawaban:
Landak laut halal untuk dimakan. Hal ini berdasarkan keumuman ayat,
قُلْ لَا
أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ
إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging
babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al An’am: 145).
Hukum asal segala sesuatu adalah halal sampai ada dalil yang menyatakannya haram.
Adapun hewan kura-kura, sebagian ulama menyatakan boleh dimakan
meskipun tidak disembelih. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah
Ta’ala,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan dari laut.” (QS. Al Maidah: 96).
Begitu pula dengan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang air laut,
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“
Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.” (HR. At Tirmidzi no. 69, An Nasai no. 332, Abu Daud no. 83, Ibnu Majah no. 386, Ahmad 2/361, Malik 43, Ad Darimi 729)
Akan tetapi untuk kehati-hatian, kura-kura tersebut tetap disembelih agar keluar dari perselisihan para ulama.
Adapun buaya, sebagian ulama menyatakan boleh dimakan sebagaimana
ikan karena keumuman ayat dan hadits yang telah disebutkan. Sebagian
lainnya mengatakan tidak halal. Namun yang rojih (pendapat terkuat)
adalah pendapat pertama (yang menghalalkan buaya).
Adapun kuda laut, ia juga halal dimakan berdasarkan keumuman ayat dan
hadits yang telah lewat, juga dihalalkan karena tidak adanya dalil
penentang. Kuda yang hidup daratan itu halal dengan nash (dalil tegas),
sehingga kuda laut pun lebih pantas dinyatakan halal.
Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.
[Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin
Baz selaku ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua; Syaikh
‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota]
[6]
Kedua: Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
Dalam
Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, Syaikh
rahimahullah
mengatakan, “Seluruh hewan air itu halal bahkan untuk orang yang sedang
ihrom. Orang yang sedang ihrom boleh baginya berburu di laut. Hal ini
berdasarkan firman Allah
Ta’ala,
أُحِلَّ
لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا
“
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam
keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan
yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan
diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam
ihram.” (QS. Al Maidah: 96)
Yang dimaksud “
shoidul bahr” adalah hewan air yang ditangkap dalam keadaan hidup. Sedangkan yang dimaksud “
tho’amuhu” adalah hewan air yang ditemukan dalam keadaan sudah mati. Ayat tersebut menerangkan (yang artinya), “
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam keadaan hidup)”.
Secara tekstual (zhohir ayat), tidak ada yang mengalami pengecualian
dalam ayat tersebut. Karena “shoid” dalam ayat tersebut adalah mufrod
mudhof. Sedangkan berdasarkan kaedah mufrod mudhof menunjukkan umum
(artinya: seluruh tangkapan hewan air adalah halal, pen), sebagaimana
pula dalam firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
“
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya” (QS. Ibrahim: 34). Mufrod mudhof dalam kata nikmat menunjukkan atas seluruh nikmat.
Jadi pendapat yang menyatakan halalnya seluruh hewan air (tanpa
pengecualian), itulah yang lebih tepat. Sebagian ulama mengecualikan
katak, buaya, dan ular (yang hanya hidup di air). Mereka menyatakan
hewan-hewan ini tidak halal. Namun pendapat yang tepat hewan-hewan tadi
tetap halal (kecuali katak, pen). Seluruh hewan air itu halal, baik
ditangkap dalam keadaan hidup maupun bangkai. [Fatawa Nur ‘ala Ad Darb,
kaset no. 129, side A
[7]]
Dalam
Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh
rahimahullah ditanya, “Apa hukum makan katak, ular (yang hanya hidup di air), dan kepiting?”
Beliau
rahimahullah menjawab, “Kalau kita melihat keumuman firman Allah Ta’ala,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
“
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam
keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan
yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS.
Al Maidah: 96), menunjukkan bahwa hewan-hewan tersebut halal kecuali
katak. Ia bukanlah hewan air. Katak hidup di darat dan di air sehingga
ia tidak masuk dalam keumuman ayat tadi. [Liqo’ Al Bab Al Maftuh kaset
no. 112, side B
[8]]
Beliau juga ditanya dalam kajian
Nur ‘ala Ad Darb,
“Daging buaya dan kura-kura itu halal dimakan ataukah haram? Karena kami
menemukan makanan semacam itu di negeri kami, Sudan. Berilah penjelasan
pada kami. Barakallahu fiikum.”
Beliau menjawab, “Semua hewan air itu halal, baik yang ditangkap dalam keadaan hidup maupun bangkai. Allah Ta’ala berfirman,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
“
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam
keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan
yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS.
Al Maidah: 96) Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa “shoidul bahr” maknanya
adalah hewan air yang ditangkap hidup-hidup. Sedangkan “tho’amuhu”
adalah hewan air yang ditangkap dalam keadaan mati. Akan tetapi sebagian
ulama katakan bahwa buaya itu tidak halal karena buaya termasuk hewan
yang bertaring. Padahal Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah melarang memakan hewan yang bertaring baik itu hewan buas.
Sedangkan hewan darat piaraan (jinak) yang bertaring pun diharamkan.
Akan tetapi, zhohir (tekstual) surat Al Maidah ayat 69 menunjukkan akan
halalnya buaya. [Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, kaset no. 137, side A]
Syaikh rahimahullah pernah menyannggah orang yang mengharamkan buaya
dengan alasan bahwa buaya itu bertaring. Syaikh menyatakan bahwa yang
dimaksud larangan dalam hadits adalah untuk hewan darat yang bertaring.
Sedangkan hewan buas yang hidup di air, maka ia memiliki hukum
tersendiri. Oleh karena itu, dihalalkan memakan ikan hiu. Padahal ikan
hiu juga memiliki taring yang digunakan untuk memangsa buruannya. (Lihat
Syarhul Mumthi’, 15/34-35)
[9]
Ulama saat ini yang juga menghalalkan buaya adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
rahimahullah (Fatwanya, 23/24) sebagaimana beliau pun mendukung pendapat ini dalam Fatwa Al Lajnah Ad Daimah yang telah lewat.
[10]
Ringkasan: Penjelasan ini menunjukkan bahwa buaya,
kura-kura dan kepiting itu halal dimakan. Halalnya hewan-hewan ini
sesuai dengan pendapat ulama Malikiyah karena mereka menganggap setiap
hewan air itu halal.
[11]
Sedangkan ulama yang menyatakan bahwa kepiting dan kura-kura itu haram karena dianggap jijik (
khobits),
maka ini perlu ditinjau. Karena khobits (jijik) itu bukanlah dalil
tegas akan haramnya sesuatu. Adapun, katak ada dalil tegas yang
menunjukkan akan haramnya karena ia termasuk hewan yang tidak boleh
dibunuh.
Lalu bagaimana cara membunuh kepiting dan kura-kura agar jadi halal?
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni menyatakan, “Setiap hewan air yang bisa hidup di daratan, maka
tidak halal kecuali dengan disembelih. Contohnya adalah burung air,
kura-kura, dan anjing laut. Kecuali jika hewan tersebut tidak memiliki saluran darah seperti
kepiting. Kepiting itu dihalalkan walaupun tidak dengan cara penyembelihan. Imam Ahmad pernah ditanya,
السَّرَطَانُ لَا بَأْسَ بِهِ .قِيلَ لَهُ : يُذْبَحُ ؟ قَالَ : لَا
“Kepiting itu tidak mengapa dimakan (baca: halal), lantas bagaimana
ia disembelih? Imam Ahmad menjawab, “Tidak perlu disembelih.”
Demikian karena memang penyembelihan itu berlaku bagi hewan yang
mengeluarkan darah. Dagingnya bisa jadi halal dengan cara mengeluarkan
darah dari tubuhnya. Hewan yang tidak ada mengalir darah dalam tubuhnya
tidak butuh untuk disembelih.”
[12]
Artinya, kepiting disembelih di daerah mana pun yang membuat ia mati, tetap membuatnya halal.
[13]
Kesimpulan Mengenai Hewan Air
Mengenai hewan air dapat kami ringkas sebagai berikut:
Pertama: Hukum
seluruh hewan air (yang hanya hidup di air) adalah halal. Begitu pula,
hukum asal hewan air yang hidup di dua alam (air dan darat) adalah
halal.
Kedua: Katak itu
haram karena ada dalil yang melarang membunuhnya. Ada kaedah, setiap
hewan yang dilarang dibunuh, maka tidak boleh dimakan.
Ketiga: Buaya itu halal, berbeda dengan pendapat mayoritas ulama.
Keempat: Ular yang hanya hidup di air juga halal karena ia termasuk dalam keumuman ayat,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
“
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam
keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan
yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS. Al Maidah: 96). Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengharamkannya.
Kelima: Hewan air
yang bisa hidup di dua alam (darat dan laut) seperti anjing laut,
kura-kura, burung laut, juga boleh dimakan asalkan dengan jalan
disembelih. Kecuali jika hewan tersebut tidak memiliki darah seperti
kepiting.
Keenam: Setiap hewan air yang membawa dampak bahaya ketika dikonsumsi, tidak boleh dimakan. Dalilnya adalah firman Allah
Ta’ala,
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisa’: 29)
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al Baqarah: 195)
Ringkasnya, hewan yang hidup di air itu halal kecuali katak dan hewan
lainnya yang dapat membawa dampak bahaya ketika dikonsumsi.
Wallahu a’lam bish showab.
Selesai sudah pembahasan kami seputar hewan air. Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.