Motifasi Islam

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”.
Latest Post

AIR MATA SURGA

Written By Unknown on Sabtu, 11 Juni 2016 | 13.33.00

“Karena aku wanita, aku sanggup menghadapinya”. Film ini bercerita tentang perjuangan seorang perempuan dalam mempertahankan cintanya sampai akhir hayat. FIKRI, Dokter Ahli Desain sekaligus lulusan Maha Santri di Jakarta, menikahi FISHA, mahasiswi S-2 dari Yogyakarta yang belum lama dikenalnya. Bagi Fikri, Fisha adalah “ranting terindah” yang pernah dia temui dalam belantara kehidupan ini, sehingga dia tidak perlu menunggu lama-lama. Padahal HAMZAH, teman Fisha sejak kecil, sudah lama menaruh hati pada Fisha. Bahkan BUNDA (ibu Fisha) dan WENI (sahabat Fisha) juga mendukung kedekatan mereka. Tapi Fisha menganggap Hamzah seperti kakaknya sendiri. Mustahil baginya untuk bisa memiliki perasaan lebih dari itu.

Namun hubungan Fisha dengan HALIMAH (ibu Fikri) kurang harmonis. Sudah lama Halimah menjodohkan Fikri dengan anak dari sahabat almarhum suaminya. Takdir berkata lain, malang tak dapat ditolak, Fisha mengalami keguguran sampai dua kali. Fisha sangat sedih dan terpukul. Fikri tidak pernah menyalahkan Fisha sedikit pun atas segala musibah yang terjadi.

Saat Fikri ada bisnis di luar kota, Fisha mengalami kesakitan yang luar biasa di perutnya. Dokter memberikan diagnosa bahwa Fisha terkena kanker rahim stadium akhir. Itulah mengapa dia sangat sulit hamil selama ini. Mengetahui bahwa waktunya tidak banyak lagi dan tidak akan bisa punya anak, Fisha mengambil langkah pengorbanan yang luar biasa sebagai seorang istri. Pengorbanan yang membuktikan bahwa cinta sejati itu hadir dalam hati seorang wanita. Pengorbanan apakah itu? Bagaimanakah akhir dari film yang sangat menyentuh ini? Saksikan film yang diangkat dari kisah nyata luar biasa ini mulai tanggal 22 Oktober 2015 di bioskop.

Make $2000 a Month With STCnetwork's Affiliate Program

STCnetwork Affiliate Program

As promised we have shared our affiliate program details with everyone. STCnetwork has been developing quality products for over 7 years. STCnetwork is Pakistan's first registered company of Professional Bloggers and SEO consultants which pays regular Income Tax and has a permanent local office. We offer Web Services and Web Solutions to clients around the globe. We are group of tech-savvy computer engineers and programmers who wish to contribute to web through the knowledge that we have acquired over this long period of learning.
So far all our services and products were offered for a selective group of sole proprietors but from 2016 we have decided to disclose some of our premium products  for everyone online at an affordable cost. We strongly believe that no business can sustain on its own without a helping hand. We surely believe in affiliate marketing and the immense sale support provided by affiliates who spend as much efforts in publicizing products as we spend in developing these digital commodities.
It's now time to invite you all to become our business partners by promoting our products and services to your friends, colleagues and targeted audience.  All Information regarding the program has been explained in the affiliate page where you can join the system for free and start making a lucrative income online without spending a penny.
Products and Services that we have in queue include:
  • Android Mobile App Development
  • WordPress SEO + SMO
  • Blogger SEO + SMO
  • Blogger Templates
  • Web hosting and DNS Setup
  • Plugins and Widgets
  • Graphics + Vectors + Logo Design
  • Eccomerce Setup
Without wasting any further time, lets head straight to the Affiliate page for full details:
Our program can be joined by anyone whether or not owning a bank account or PayPal account. The system is based on a 20% revenue share on each sale and has the power to make you up to $2000 within a month.

Beramal Shalih, Menunaikan Shalat, Mengeluarkan Zakat

Written By Unknown on Jumat, 10 Juni 2016 | 13.48.00

Sebelumnya Allah ingatkan bahwa riba itu hanya memusnahkan harta dan menghilangkan barakah harta. Hal ini berbeda jauh dengan sedekah, di mana sedekah dapat mengembangkan harta dan menambah berkahnya. Lalu disebutkanlah pujian bagi orang yang beriman, beramal shalih, menunaikan shalat dan membayar zakat. Mereka akan mendapatkan pahala dari Allah,
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 277)
Lihatlah balasan bagi mereka adalah akan mendapatkan pahala di sisi Allah. Mereka tidak khawatir dengan alam akhirat di hadapan mereka. Mereka pun tidak bersedih hati dengan dunia dan berbagai kenikmatan yang luput dari mereka.

Tinggalkan Riba

Perintah selanjutnya adalah meninggalkan sisa riba. Dalam ayat disebutkan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 278)
Mereka yang beriman pada Allah dan mengikuti Rasul-Nya pasti akan takut pada Allah sehingga akan menjalankan perintah dan menjauhi larangan.
Kalau memang benar beriman pada Allah, maka tinggalkanlah riba yang belum dipungut dan yang jadi miliknya hanyalah utang yang pokok (tidak berlaku tambahannya).
Itulah orang yang benar beriman pada Allah dan benar-benar menjauhi larangan Allah berupa riba.
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, “Tinggalkanlah tambahan dalam pokok utang setelah peringatan pada ayat di atas.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2: 286)

Para Pemakan Riba (Rentenir) Diancam Akan Diperangi

Diancamlah pelaku riba dengan perang,
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 279)
Maksudnya jika tetap mengambil riba, maka Allah mengancam perang. Jika bertaubat, maka harta pokoknya saja yang diambil, tambahan riba tidak boleh diambil.
Janganlah berbuat zalim dengan mengambil lebih dari harta pokok. Jangan pula dizalimi dengan mengambil kurang dari harta pokok tadi.
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Jika ada yang tidak mau berhenti dari memakan riba, maka pemimpin kaum muslimin wajib memintanya untuk bertaubat. Jika tidak mau meninggalkan, maka dipenggal lehernya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2: 286)

Tolonglah Orang yang Berutang, Bukan Mempersulit

Di sini adalah ayat menunjukkan dorongan pada kreditur (pihak yang memiliki tagihan pada pihak lain) agar memberikan kemudahan pada orang yang sulit (melunasi utang). Kemudahan yang diberikan bisa jadi ditunda pelunasan utangnya sampai memiliki harta. Kemudahan lain bisa jadi pula bersedekah dengan cara memutihkan utang atau menggugurkan sebagiannya. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).
Dari salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –Abul Yasar-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِى ظِلِّهِ فَلْيُنْظِرِ الْمُعْسِرَ أَوْ لِيَضَعْ عَنْهُ
Barangsiapa ingin mendapatkan naungan Allah ‘azza wa jalla, hendaklah dia memberi tenggang waktu bagi orang yang mendapat kesulitan untuk melunasi hutang atau bahkan dia membebaskan utangnya tadi.” (HR. Ahmad, 3: 427. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ibnu Katsir mengatakan, bersabarlah pada orang yang susah yang sulit melunasi utang. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2: 287).
Di halaman yang sama, Ibnu Katsir juga menyatakan bahwa jangan seperti orang Jahiliyah, di mana ketika sudah jatuh tempok disebutkan pada pihak yang berutang (debitur), “Lunasilah. Kalau tidak, utangmu akan dikembangkan.”
Kalau disuruh bersabar, maka tidak boleh kenakan riba.
Lihat bahasan: Mudahkanlah Orang yang Berutang Padamu

Ingat Hari Kiamat

Setelah diingatkan masalah riba dan bahayanya utang riba, maka diingatkan tentang keadaan hari kiamat,
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah: 281). Maksud mereka tidak dizalimi adalah mereka tidak dikurangi pahalanya dan mereka tidak ditambahi dosa.
Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:

Al-Mukhtashor fii At-Tafsir. Penerbit Muassasah Syaikh ‘Abdullah bin Zaid Al-Ghanim Al-Khairiyah.
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

MISTERI MAKAM NIKE ARDILLA

Oleh Fadhil ZA
Nike Ardila adalah penyanyi terkenal disekitar tahun 1990 . Ia meninggal akibat kecelakaan tragis pada hari minggu tanggal 19 maret 1995. Kematiannya mengejutkan para fansnya diseluruh Indonesia. Tanpa dikomando serentak radio diseluruh nusantara mengumandangkan lagu lagu Nike Ardilla  yang melankolis.
Begitu banyak yang kehilangan Nike Ardilla. Begitu banyak yang meratapi kepergiannya yang tragis. Hari Minggu yang kelabu telah menjemputnya kembali ke pangkuanNya. Kerabat, sahabat sesama artis, penggemar turut berbondong-bondong mengantarkan ke KeharibaanNya. Nike Ardilla pergi dengan penuh tanda tanya, pergi meninggalkan segala kenangan yang telah terukir sepanjang hidupnya. Bintang Kehidupan itu telah pergi untuk selama-lamanya dan tak akan pernah kembali.
Nike Ardila dimakamkan dikompleks pemakaman keluarga di desa  Imbanegara , Ciamis. Setiap tahun makam ini ramai dikunjungi oleh para fansnya . Dikompleks pemakaman  juga disediakan mushalah dan penginapan bagi mereka yang berziarah kemakam tersebut. Namun sayang ketenaran Nike Ardila itu juga dimanfaatkan oleh sekelompok golongan Jin untuk menyesatkan orang yang datang berziarah ke komplek itu.
Para peziarah atau pengunjung kompleks pemakaman kadang kala melihat penampakan ujud seperti Nike Ardila yang sedang berjalan di pemakaman tersebut. Peziarah yang menginap kadangkala terganggu suara seperti ada orang yang sedang mandi ataupun melihat ujud seperti seorang wanita yang wajahnya tertutup oleh riap rambutnya yang panjang.
Team Misteri Dua Dunia dari trans TV yang dipimpin ustad Hakim Bawazir berusaha mengungkap misteri yang ada di komplek makam itu. Melalui perantara seorang medium dilakukan dialog dengan jin pengganggu yang ada dikompleks tersebut. Dari dialog tersebut terungkap jin tersebut mengganggu pengunjung kompleks hanya karena iseng.
Mereka senang meniru bentuk ujud Nike Ardila dan kadang kala masuk ketubuh orang yang kosong jiwanya atau sedang melamun kemudian mengaku sebagai Nike Ardila. Orang banyak menyangka bahwa itu betul arwahnya Nike Ardila. Padahal Ruh orang yang sudah meninggal tidak mungkin gentayangan dan masuk ketubuh manusia seperti disebutkan dalam surat Al Mukminun ayat 99-100.



99. (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia). 100. agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan (Al Mukminun 99-100)
Diantara alam kubur dan kehidupan dunia ada dinding yang kuat (barzakh) yang tidak mungkin ditembus oleh mereka yang sudah meninggal dunia.
Orang yang kesurupan sering mengaku sebagai ruh nenek, leluhur atau sifulan yang meninggal disana atau disini, semua itu adalah tipu daya golongan jin untuk menyesatkan manusia. Kita juga sering mendengar cerita cerita tentang arwah gentayang yang sering muncul ditempat kecelakaan atau tragedi bencana yang banyak menrenggut jiwa , semua itu adalah perbuatan golongan jin yang ingin menyesatkan manusia. Banyak orang yang terkecoh oleh penampakan jin yang bermacam macam ini. Manusia menyangka itu betul ruh orang yang sudah meninggal.
Dari dialog dengan Jin yang masuk ketubuh  mediator yang telah disiapkan Team  , jin tersebut  mengakui bahwa ruh orang yang sudah meninggal tidak mungkin kembali kedunia, karena mereka sudah dikunci oleh Allah disuatu tempat. Kejadian orang yang kesurupan dan mengaku sebagai ruh sifulan dan fulana adalah perbuatan dari golongan jin untuk menyesatkan manusia.
Dari dialog dengan Jin tersebut juga terungkap bahwa mereka betah berada ditempat tersebut karena tempat tersebut kotor , tidak terawat dan sepi dari lantunan ayat suci Al Qur’an. Walaupun dikompleks itu ada mushalah tapi mushalah itu jarang digunakan dan sepi dari lantunan ayat suci Al qur’an. Jin Kafir yang masuk kedalam tubuh mediator juga menyatakan bahwa mereka tidak berani mengganngu orang yang sering membaca Qur’an, mereka merasa panas dan tidak betah jika mendengar lantunan ayat suci Al qur’an.
Rasulullah megingatkan dalam salah satu hadist agar jangan menjadikan rumah kita seperti kuburan, bacalah ayat suci Qur’an dirumah masing masing agar terbebas dari gangguan jin dan syetan yang sering mendatangi rumah yang sepi dari bacaan ayat suci Qur’an.

Kisah Nyata Misteri Dua Anak Kembar Yang Hidup Setelah Mati

Anda percaya akan adanya reinkarnasi? Atau mungkin Anda percaya dengan kehidupan sebelum lahir atau setelah mati? Kata orang, hidup ini hanya sekali. Namun ternyata di dunia ini ada sebuah misteri tentang kehidupan sebelum seseorang lahir.
Ini adalah sebuah kisah nyata tentang sepasang saudara kembar bernama Jennifer dan Gillian. Banyak yang mempercayai bahwa kedua gadis ini sebenarnya sudah pernah hidup sebelumnya. Bagaimana kisahnya?
Pada tahun 1957, ada sebuah kecelakaan fatal di Northumberland, Inggris. Akibat kecelakaan ini, dua orang saudari bernama Joanna (11 tahun) dan Jacquelline Pollock (6 tahun) meninggal dengan tragis. Hal ini sangat memukul kedua orang tuanya.
Satu tahun kemudian, sang ibu melahirkan sepasang anak kembar berjenis kelamin perempuan. Keduanya diberi nama Jennifer dan Gillian. Namun setelah diperhatikan, ada yang janggal dengan kedua anak kembar ini.
Kedua gadis kembar ini meminta mainan yang sama seperti almarhumah dua saudari mereka miliki. Entah itu boneka atau mainan lainnya. Selain itu, mereka juga pernah minta dibawa ke taman yang sama, yang pernah dikunjungi oleh kedua almarhumah kakaknya. Faktanya, mereka bahkan belum pernah tahu dan belum pernah ke sana.
Orang tuanya mengakui bahwa kedua putri kembarnya ini memiliki ciri yang mirip dengan kakak-kakaknya yang sudah meninggal. Jennifer misalnya, dia memiliki tanda lahir yang sama dengan almarhumah Jacqueline.
Kasus mereka termasuk 1 dari sekian misteri kehidupan yang coba dipecahkan di dunia. Namun masih belum ada jawaban yang pasti. Salah seorang psikolog yang mengamati hal ini, Dr. Ian Stevenson, mengatakan bahwa penelitian yang ia lakukan menunjukkan adanya gejala bahwa kedua saudara kembar ini merupakan reinkarnasi dari kedua kakaknya.
Masih belum ada yang bisa memastikan reinkarnasi itu terjadi. Karena kematian dan kehidupan setelahnya adalah misteri yang tak pernah diketahui manusia. Dan entah apakah hal ini berhubungan dengan kinerja otak manusia. Meski begitu, tahun 2006 sebuah studi di Metro mengatakan bahwa ada 2500 kasus serupa dalam 40 tahun terakhir.
Well, percaya atau tidak pada reinkarnasi, hal itu tergantung dengan keyakinan kita masing-masing. Namun dengan mengetahui kisah ini, kita bisa tahu ada banyak pengetahuan dan misteri yang belum terungkap yang tak bisa dimengerti hanya dengan logika yang kita miliki.

Riba Sama dengan Jual Beli?

Written By Unknown on Kamis, 09 Juni 2016 | 12.46.00

Ternyata ada ayat yang secara khusus memperingatkan tentang masalah riba. Bahkan masalah ini dibicarakan sekaligus dengan masalah utang di akhir-akhir surat Al-Baqarah, kalau dilihat ada pada dua halaman dalam mushaf Al-Qur’an. Ini menunjukkan riba benar-benar bahaya.
Coba renungkan ayat berikut ini,
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276)
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah: 275-276)

Keadaan Pemakan Riba Ketika Keluar Dari Alam Kubur

Awalnya diingatkan,
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) gila.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Apa yang dimaksud dengan ayat di atas?
Ayat di atas dimaksudkan ketika dibangkitkan dari alam kubur.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Orang yang memakan (mengambil) riba akan bangkit dari kubur mereka pada hari kiamat seperti orang yang terkena ayan (epilepsi) saat berdiri, di mana ia bertindak serampangan karena kerasukan setan. Saat itu ia berdiri sangat sulit.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2: 278).
Ibnu ‘Abbas berkata, “Pemakan riba akan bangkit pada hari kiamat dalam keadaan gila dan mencekik dirinya sendiri.” (Idem)
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menyatakan, “Itulah keadaan yang buruk bagi orang yang memakan riba. Orang yang memakan riba tidak dapat berdiri dari kuburnya pada hari berbangkit melainkan seperti orang yang kerasukan yang nampak gila.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 117).
Imam Asy-Syaukani membahas lebih luas, tercatat bahwa ancaman riba yang dimaksud dalam ayat bukan hanya untuk pemakan riba. Yang disebut dalam ayat untuk pemakan riba hanya untuk menunjukkan jeleknya pelaku tersebut. Namun setiap orang yang bermuamalah dengan riba terkena ancaman ayat di atas, baik yang memakan riba (rentenir) maupun yang menyetor riba (yang meminjam uang atau nasabah).
Imam Asy Syaukani juga berpendapat bahwa keadaan dia seperti orang gila yang kerasukan setan itu bukan hanya saat dibangkitkan dari kubur, namun berlaku untuk keadaannya di dunia. Orang yang mengumpulkan harta dengan menempuh jalan riba, maka ia akan berdiri seperti orang majnun (orang gila) yaitu karena sifatnya yang rakus dan tamak. Gerakannya saat itulah seperti orang gila. Seperti jika kita melihat ada orang yang tergesa-gesa saat berjalan, maka kita sebut ia dengan orang gila. (Lihat Fath Al-Qadir karya Asy-Syaukani, 1: 499).

Jual Beli dan Riba Jelas Berbeda

Dalam ayat yang sama dilanjutkan,
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Lihatlah dalam ayat di atas, Allah membedakan antara riba dan jual beli. Sedangkan mereka menyatakan jual beli dan riba itu sama karena sama-sama menarik keuntungan di dalamnya. Padahal keduanya berbeda. Jual beli jelas dihalalkan karena ada keuntungan dan manfaat di dalamnya, baik yang bersifat umum maupun khusus. Sedangkan riba diharamkan karena di dalamnya ada kezaliman dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil, ini bukan seperti keuntungan yang ada dalam jual beli yang sifatnya mutualisme (saling menguntungkan antara penjual dan pembeli). (Lihat Al-Mukhtashor fi At-Tafsir, hlm. 47)

Jika Sudah Bertaubat dari Riba

Kelanjutan dari ayat yang sama,
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Siapa saja yang telah sampai padanya peringatan dan larangan dari Allah, lantas ia bertaubat, maka riba yang sudah terlanjur diambil tidak ada dosa untuknya.
Sedangkan yang mengulangi mengambil riba padahal sudah diberi peringatan, maka ia pantas mendapatkan siksa neraka dan kekal di dalamnya.
Yang dimaksud kekal di dalamnya di sini adalah ia akan tinggal dalam waktu yang lama di neraka. Karena kalau kekal selamanya dalam neraka hanya diperuntukkan pada orang kafir saja. Sedangkan ahli tauhid tidaklah kekal selamanya di dalam neraka. (Lihat Al-Mukhtashor fi At-Tafsir, hlm. 47)

Sedekah dan Riba itu Berbeda di Akhirnya

Setelah itu Allah bedakan antara berkahnya sedekah dan hancurnya riba,
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah: 276)
Lihatlah disebutkan bahwa harta riba itu akan sirna, bisa jadi secara kasatmata memang musnah atau secara maknawi berkah harta itu akan hilang.
Adapun sedekah akan berbuah pahala yang berlipat-lipat, di mana satu kebaikan minimal dibalas dengan sepuluh yang semisal, bahkan bisa dilipatgandakan lebih daripada itu. Di samping itu, harta dari orang yang bersedakah itu akan diberkahi.
Lalu diingatkan bahwa Allah tidak menyukai orang kafir lagi penentang, menghalalkan yang haram dan terus menerus berada dalam maksiat dan dosa.

Kesimpulan dari ayat yang kita kaji di atas, yang menunjukkan riba itu diingatkan dengan keras dari sisi:
  1. Pemakan riba akan keluar dari kuburnya seperti orang yang terkena ayan karena kesurupan setan.
  2. Riba itu menarik untung dalam hal utang piutang dan ini sangat berbeda dengan jual beli karena dalam riba terdapat ketidakadilan.
  3. Riba terdapat kezaliman dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
  4. Diperintahkan untuk bertaubat dari riba dengan tidak mengulangi untuk memakan riba lagi.
  5. Pemakan riba diancam neraka dengan berada dalam waktu yang lama di dalamnya.
  6. Riba berujung hancurnya harta dan hilangnya keberkahan harta. Berbeda halnya dengan sedekah yang akan mengembangkan harta secara kasatmata atau menambah berkahnya.
Semoga Allah memberkahi harta kita dengan sedekah dan jual beli yang halal, dan menjauhkan kita dari riba dan debu-debunya.

Asal Ikut Tradisi

Renungan ayat di Ramadhan kedua ini ada di juz kedua,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Baqarah: 170)
Allah Ta’ala mengabarkan tentang keadaan orang musyrik. Jika mereka diperintah untuk mengikuti wahyu Allah dan sabda Rasul-nya, mereka malah tetap ingin mengikuti (taklid) pada nenek moyang mereka. Mereka tidak mau beriman kepada para nabi. Padahal nenek moyang mereka tidak berada di atas ilmu dan tidak berada di atas petunjuk. Intinya, mereka cuma beralasan saja tidak mau menerima kebenaran.
Kalau memang kebenaran yang mereka cari, tentu kebenaran yang akan jadi tujuan dan kebenaran itu akan ditampakkan lalu diikuti. Demikian yang dipaparkan oleh Syaikh As-Sa’di dalam kitab tafsirnya.
Dalam Tafsir Al-Jalalain disebutkan bahwa yang diajak untuk diikuti adalah untuk bertauhid dan menghalalkan yang thayyib (yang halal).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, ikutilah apa yang diwahyukan oleh Allah pada Rasul-Nya dan tinggalkanlah kesesatan dan kejahilan (tidak punya ilmu). Namun mereka menjawab bahwa mereka tetap mengikuti ajaran nenek moyang mereka untuk menyembah berhala. Allah pun membantah mereka bahwa nenek moyang yang mereka ikuti sebenarnya tidak berada di atas petunjuk.
Dua faedah penting disampaikan oleh Syaikh Abu Bakr Al-Jazairy dalam Aysar At-Tafasir,
  1. Diharamkan untuk mengikuti orang yang tidak berada di atas ilmu dan tidak punya pandangan dalam agama.
  2. Dibolehkan mengikuti (taklid pada) orang berilmu dan mengambil pendapat mereka yang bersumber dari wahyu ilahi yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah.
Semoga bermanfaat kajian renungan ayat di hari ini.

Puasa di Islandia (Matahari Tidak Terbenam Lebih dari 24 Jam)

Tahu negara Islandia? Islandia (Iceland) adalah negeri es yang terletak di daerah kutub utara. Jumlah penduduknya hanya 330 ribuan. Negara tersebut hanya berupa pulau kecil yang luasnya 103.000 kilometer persegi.
Karena letak geografisnya di kutub utara, saat musim panas tiba (seperti saat ini), penduduk yang ada di sana tidak menemukan waktu malam (artinya matahari tidak tenggelam), bahkan bisa berlangsung siang lebih dari 24 jam. Begitu juga ketika musim dingin tiba, mereka di sana tidak pernah melihat matahari sama sekali.
Walau mayoritas beragama Nashrani, ternyata ada 0,3% yang beragama Islam di Islandia. Bagaimana cara mereka melakukan puasa?
Untuk permasalahan yang terjadi di Islandia sudah dijelaskan oleh para ulama.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa yang masalah bukan hanya puasa, namun juga shalat mereka. Namun jika di suatu negara masih mendapatkan siang dan malam, maka waktu siang dan malam tersebut tetap dijadikan patokan untuk hal ibadah, baik ketika siang begitu lama atau begitu singkat.
Namun jika tidak mendapati malam atau siang sama sekali seperti di daerah kutub karena ada yang mengalami siang hingga enam bulan lamanya atau mengalami malam enam bulan lamanya, maka ketika itu baru mereka memperkirakan kapan waktu shalat mereka. (Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni ‘Utsaimin, 19: 321)
Dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab jika ditanyakan hal yang sama tentang kaum muslimin yang hidup di kutub utara, satu kondisi mengalami siang yang hanya 4,5 jam, apa yang mesti dilakukan ketika ingin menjalankan puasa Ramadhan?
Dijawab oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah bahwa jika memang ada waktu malam dan waktu siang, maka hendaklah berpuasa Ramadhan mulai dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari, baik siang tersebut itu panjang atau begitu singkat.
Dalam web Saaid.Net, bisa disimpulkan beberapa hal berikut.
  1. Bagi yang masih mendapati waktu siang di musim panas, maka hendaklah menjadikan waktu shalat dan puasa dengan ketetapan yang telah Allah perintahkan (dengan melihat keadaan matahari, pen.). Inilah asalnya sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai dalil syar’i.
  2. Untuk daerah yang tidak terbit matahari dalam waktu yang lama hingga sampai enam bulan lamanya atau matahari nampak sampai beberapa hari berturut-turut (tidak pernah tenggelam), maka penentuan waktu shalat dan puasa dengan melihat negara yang paling dekat yang masih nampak terbit dan tenggelam matahari dalam 24 jam, walaupun waktunya nanti berbeda.
  3. Bagi yang mendapati waktu siang yang terlalu panjang sehingga sulit untuk mengerjakan shalat atau dirasakan berat juga untuk berpuasa, maka boleh baginya makan dan minum dengan kadar yang cukup lalu menahan diri dari sisa hari yang ada. Lantas di waktu lain dari setahun, puasa tersebut tetap diqadha’.
  4. Jika memungkinkan kaum muslimin yang berada di negara semacam itu berpindah sesuai kemampuannya ke negara yang siangnya tidak begitu panjang di bulan Ramadhan, lebih-lebih lagi kalau dapat pindah ke negeri muslim, itu lebih baik.
  5. Jika ada kaum muslimin yang secara darurat mesti tinggal di negeri semacam itu, maka hendaklah bersabar dan mengharap pahala yang berlipat dari Allah. Namun ia tetap juga berusaha bisa berpindah ke negeri yang keadaan malam dan siangnya itu berimbang. Karena asalnya tinggal di negeri non-muslim semacam itu hanya untuk keadaan darurat saja, bukan bersifat permanen (terus menerus). Kalau sifat darurat sudah hilang, maka hilanglah hukum untuk tinggal di sana.

Benci Padahal Sebenarnya itu Baik

Renungan yang sangat berharga untuk kali ini,
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Syaikh As-Sa’di rahimahullah menerangkan dalam tafsirnya sebagai berikut.
Ayat ini memerintahkan untuk berperang di jalan Allah. Padahal karena kelemahan manusia, mereka enggan untuk berperang. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah dan ketika kaum muslimin semakin banyak, Allah membebani untuk berperang dan dikabarkan pula bahwa memang hal itu juga berat bagi jiwa karena ada rasa capek dan kesulitan. Namun di balik perang itu ada pahala yang besar. Orang yang menjalaninya akan selamat dari siksa yang pedih. Kalau menang pun akan mendapatkan ghanimah yang besar. Itulah makanya disebutkan,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.
Sedangkan orang yang enggan berjihad, hanya ingin rehat saja, maka itu sebenarnya jelek walau jiwa kita sukai. Kalau kita enggan berjihad yang ada musuh akan menguasai kita, akan turun kehinaan, dan luput dari pahala jihad yang begitu besar. Makanya Allah sebut,
وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.”
Untuk perkara kebaikan akhirat, umumnya tidak disukai oleh jiwa karena ada keberatan dalam kebaikan tersebut. Sedangkan perkara kejelekan sangat disukai karena begitu lezat ketika menikmatinya tanpa diragukan lagi.
Adapun perkara dunia, maka Allah memberikan sebab supaya kita bisa menyukainya dan akhirnya memperolehnya.
Perkara di atas seharusnya membuat kita mensyukurinya. Karena kita tahu bahwa Allah begitu menyayangi diri kita daripada kita menyayangi diri kita sendiri. Allah juga yang menentukan maslahat bagi hamba-Nya. Makanya dinyatakan,
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Maka setiap takdir Allah itu diterima baik takdir yang kita rasakan senang di dalamnya atau yang kita rasakan susah di dalamnya. Demikian penjelasan dalam Taisir Al-Karim Ar-Rahman.
Ibnu Katsir menyatakan, “Hal di atas “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu”; itu berlaku untuk semua perkara. Boleh jadi manusia menyukai sesuatu, padahal tidak ada kebaikan dan maslahat sama sekali di dalamnya. ”
Ibnu Katsir menyatakan lagi dalam kitab tafsirnya, “Allah yang mengetahui akhir sesuatu dari perkara kita. Allah yang mengabarkan nantinya mana yang maslahat untuk dunia dan akhirat kita. Maka lakukan dan patuhlah pada perintah-Nya, niscaya kita akan mendapatkan petunjuk.”
Hanya Allah yang memberi taufik.

Hukum Asal Hewan yang Hidup di Dua Alam

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Melanjutkan pembahasan hewan air, saat ini kita akan meninjau kelanjutannya yaitu mengenai hewan yang hidup di dua alam seperti buaya, katak, dan kura-kura. Bagaimanakah hukum untuk hewan-hewan ini, halal ataukah haram? Simak dalam tulisan berikut ini.

Hukum Asal Hewan yang Hidup di Dua Alam
Yang kami ketahui tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang shahih dan tegas yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat) kecuali untuk katak. Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya kembali ke kaedah: “Hukum asal segala sesuatu itu halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Perselisihan Ulama
Para ulama madzhab memiliki silang pendapat dalam masalah hewan yang hidup di dua alam (air dan darat). Rinciannya sebagai berikut.
Ulama Malikiyah: Membolehkan secara mutlak, baik itu katak, kura-kura (penyu), dan kepiting.
Ulama Syafi’iyah: Membolehkan secara mutlak kecuali katak. Burung air dihalalkan jika disembelih dengan cara yang syar’i.
Ulama Hambali: Hewan  yang hidup di dua alam tidaklah halal kecuali dengan jalan disembelih. Namun untuk kepiting itu dibolehkan karena termasuk hewan yang tidak memiliki darah.
Ulama Hanafiyah: Hewan yang hidup di dua alam tidak halal sama sekali karena hewan air yang halal hanyalah ikan.[1]
Haramnya Katak
Adapun dalil haramnya memakan katak adalah hadits,
أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ قَتْلِهَا.
Ada seorang tabib menanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai katak, apakah boleh dijadikan obat. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh katak.” (HR. Abu Daud no. 5269 dan Ahmad 3/453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Al Khottobi rahimahullah mengatakan, “Dalil ini menunjukkan bahwa katak itu diharamkan untuk dimakan. Katak termasuk hewan yang tidak masuk dalam hewan air yang dihalalkan.”[2]
Bolehkah berobat dengan katak?
Penulis ‘Aunul Ma’bud mengatakan, “Jika seseorang ingin berobat dengan katak tentu saja ia perlu membunuhnya. Jika diharamkan untuk membunuh, maka tentu saja dilarang pula untuk berobat dengannya. Katak itu terlarang, boleh jadi karena ia najis atau boleh jadi karena ia adalah hewan yang kotor.”[3]
Apakah Buaya Halal Dimakan?
Mayoritas ulama menyatakan bahwa buaya itu haram dimakan. Imam Ahmad rahimahullah memiliki pendapat,
يُؤْكَلُ كُلُّ مَا فِي الْبَحْرِ إِلَّا الضُّفْدَعَ وَالتِّمْسَاحَ
“Setiap hewan yang hidup di air boleh dimakan kecuali katak dan buaya.”[4]
Jika kita memakai pendapat ulama yang mengatakan bahwa hewan air itu menjadi haram jika ia memiliki kemiripan dengan hewan darat, maka jadinya buaya pun bisa diharamkan. Seperti kita ketahui bersama bahwa buaya adalah binatang bertaring dan ia memangsa buruannya dengan taringnya. Dari sini buaya bisa saja masuk dalam pelarangan hewan bertaring sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933)
Namun qiyas (analogi) buaya dengan dalil di atas kuranglah tepat. Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan hafizhohullah mengatakan,
“Adapun para ulama yang memiliki pendapat dengan mengqiyaskan hewan air dengan hewan darat yang diharamkan, maka ini tidaklah tepat. Qiyas semacam ini bertentangan dengan nash (dalil tegas) yaitu firman Allah Ta’ala,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan dari laut.” (QS. Al Maidah: 96).”[5]
Kami lebih tentram memilih pendapat yang mengatakan bahwa buaya itu halal dimakan karena tidak ada dalil tegas yang mengharamkannya sehingga kita kembalikan ke hukum asal, segala sesuatu itu halal. Jika kami menyatakan halal, bukan berarti wajib atau sunnah untuk dimakan, cuma boleh saja. Jika jijik atau tidak suka, yah silakan. Yang kami bahas adalah masalah hukumnya.
Pendapat Ulama Besar Mengenai Buaya, Kura-kura, Kepiting dan Landak Laut
Pertama: Fatwa Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia)
Pertanyaan: Apakah dibolehkan memakan kura-kura, kuda laut, buaya, landak laut? Ataukah hewan-hewan tersebut haram dimakan?
Jawaban:
Landak laut halal untuk dimakan. Hal ini berdasarkan keumuman ayat,
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al An’am: 145).
Hukum asal segala sesuatu adalah halal sampai ada dalil yang menyatakannya haram.
Adapun hewan kura-kura, sebagian ulama menyatakan boleh dimakan meskipun tidak disembelih. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan dari laut.” (QS. Al Maidah: 96).
Begitu pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang air laut,
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.” (HR. At Tirmidzi no. 69, An Nasai no. 332, Abu Daud no. 83, Ibnu Majah no. 386, Ahmad 2/361, Malik 43, Ad Darimi 729)
Akan tetapi untuk kehati-hatian, kura-kura tersebut tetap disembelih agar keluar dari perselisihan para ulama.
Adapun buaya, sebagian ulama menyatakan boleh dimakan sebagaimana ikan karena keumuman ayat dan hadits yang telah disebutkan. Sebagian lainnya mengatakan tidak halal. Namun yang rojih (pendapat terkuat) adalah pendapat pertama (yang menghalalkan buaya).
Adapun kuda laut, ia juga halal dimakan berdasarkan keumuman ayat dan hadits yang telah lewat, juga dihalalkan karena tidak adanya dalil penentang. Kuda yang hidup daratan itu halal dengan nash (dalil tegas), sehingga  kuda laut pun lebih pantas dinyatakan halal.
Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.
[Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota] [6]
Kedua: Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
Dalam Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, Syaikh rahimahullah mengatakan, “Seluruh hewan air itu halal bahkan untuk orang yang sedang ihrom. Orang yang sedang ihrom boleh baginya berburu di laut. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram.” (QS. Al Maidah: 96)
Yang dimaksud “shoidul bahr” adalah hewan air yang ditangkap dalam keadaan hidup. Sedangkan yang dimaksud “tho’amuhu” adalah hewan air yang ditemukan dalam keadaan sudah mati. Ayat tersebut menerangkan (yang artinya), “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam keadaan hidup)”. Secara tekstual (zhohir ayat), tidak ada yang mengalami pengecualian dalam ayat tersebut. Karena “shoid” dalam ayat tersebut adalah mufrod mudhof. Sedangkan berdasarkan kaedah mufrod mudhof menunjukkan umum (artinya: seluruh tangkapan hewan air adalah halal, pen), sebagaimana pula dalam firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya” (QS. Ibrahim: 34). Mufrod mudhof dalam kata nikmat menunjukkan atas seluruh nikmat.
Jadi pendapat yang menyatakan halalnya seluruh hewan air (tanpa pengecualian), itulah yang lebih tepat. Sebagian ulama mengecualikan katak, buaya, dan ular (yang hanya hidup di air). Mereka menyatakan hewan-hewan ini tidak halal. Namun pendapat yang tepat hewan-hewan tadi tetap halal (kecuali katak, pen). Seluruh hewan air itu halal, baik ditangkap dalam keadaan hidup maupun bangkai. [Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, kaset no. 129, side A[7]]
Dalam Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh rahimahullah ditanya, “Apa hukum makan katak, ular (yang hanya hidup di air), dan kepiting?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Kalau kita melihat keumuman firman Allah Ta’ala,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS. Al Maidah: 96), menunjukkan bahwa hewan-hewan tersebut halal kecuali katak. Ia bukanlah hewan air. Katak hidup di darat dan di air sehingga ia tidak masuk dalam keumuman ayat tadi. [Liqo’ Al Bab Al Maftuh kaset no. 112, side B[8]]
Beliau juga ditanya dalam kajian Nur ‘ala Ad Darb, “Daging buaya dan kura-kura itu halal dimakan ataukah haram? Karena kami menemukan makanan semacam itu di negeri kami, Sudan. Berilah penjelasan pada kami. Barakallahu fiikum.”
Beliau menjawab, “Semua hewan air itu halal, baik yang ditangkap dalam keadaan hidup maupun bangkai. Allah Ta’ala berfirman,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS. Al Maidah: 96) Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa “shoidul bahr” maknanya adalah hewan air yang ditangkap hidup-hidup. Sedangkan “tho’amuhu” adalah hewan air yang ditangkap dalam keadaan mati. Akan tetapi sebagian ulama katakan bahwa buaya itu tidak halal karena buaya termasuk hewan yang bertaring. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang memakan hewan yang bertaring baik itu hewan buas. Sedangkan hewan darat piaraan (jinak) yang bertaring pun diharamkan.  Akan tetapi, zhohir (tekstual) surat Al Maidah ayat 69 menunjukkan akan halalnya buaya. [Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, kaset no. 137, side A]
Syaikh rahimahullah pernah menyannggah orang yang mengharamkan buaya dengan alasan bahwa buaya itu bertaring. Syaikh menyatakan bahwa yang dimaksud larangan dalam hadits adalah untuk hewan darat yang bertaring. Sedangkan hewan buas yang hidup di air, maka ia memiliki hukum tersendiri. Oleh karena itu, dihalalkan memakan ikan hiu. Padahal ikan hiu juga memiliki taring yang digunakan untuk memangsa buruannya. (Lihat Syarhul Mumthi’, 15/34-35)[9]
Ulama saat ini yang juga menghalalkan buaya adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah (Fatwanya, 23/24) sebagaimana beliau pun mendukung pendapat ini dalam Fatwa Al Lajnah Ad Daimah yang telah lewat.[10]
Ringkasan: Penjelasan ini menunjukkan bahwa buaya, kura-kura dan kepiting itu halal dimakan. Halalnya hewan-hewan ini sesuai dengan pendapat ulama Malikiyah karena mereka menganggap setiap hewan air itu halal.[11]
Sedangkan ulama yang menyatakan bahwa kepiting dan kura-kura itu haram karena dianggap jijik (khobits), maka ini perlu ditinjau. Karena khobits (jijik) itu bukanlah dalil tegas akan haramnya sesuatu. Adapun, katak ada dalil tegas yang menunjukkan akan haramnya karena ia termasuk hewan yang tidak boleh dibunuh.
Lalu bagaimana cara membunuh kepiting dan kura-kura agar jadi halal?
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni menyatakan, “Setiap hewan air yang bisa hidup di daratan, maka tidak halal kecuali dengan disembelih. Contohnya adalah burung air, kura-kura, dan anjing laut. Kecuali jika hewan tersebut tidak memiliki saluran darah seperti kepiting. Kepiting itu dihalalkan walaupun tidak dengan cara penyembelihan. Imam Ahmad pernah ditanya,
السَّرَطَانُ لَا بَأْسَ بِهِ .قِيلَ لَهُ : يُذْبَحُ ؟ قَالَ : لَا
“Kepiting itu tidak mengapa dimakan (baca: halal), lantas bagaimana ia disembelih? Imam Ahmad menjawab, “Tidak perlu disembelih.”
Demikian karena memang penyembelihan itu berlaku bagi hewan yang mengeluarkan darah. Dagingnya bisa jadi halal dengan cara mengeluarkan darah dari tubuhnya. Hewan yang tidak ada mengalir darah dalam tubuhnya tidak butuh untuk disembelih.”[12]
Artinya, kepiting disembelih di daerah mana pun yang membuat ia mati, tetap membuatnya halal.[13]
Kesimpulan Mengenai Hewan Air
Mengenai hewan air dapat kami ringkas sebagai berikut:
Pertama: Hukum seluruh hewan air (yang hanya hidup di air) adalah halal. Begitu pula, hukum asal hewan air yang hidup di dua alam (air dan darat) adalah halal.
Kedua: Katak itu haram karena ada dalil yang melarang membunuhnya. Ada kaedah, setiap hewan yang dilarang dibunuh, maka tidak boleh dimakan.
Ketiga: Buaya itu halal, berbeda dengan pendapat mayoritas ulama.
Keempat: Ular yang hanya hidup di air juga halal karena ia termasuk dalam keumuman ayat,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS. Al Maidah: 96). Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengharamkannya.
Kelima: Hewan air yang bisa hidup di dua alam (darat dan laut) seperti anjing laut, kura-kura, burung laut, juga boleh dimakan asalkan dengan jalan disembelih. Kecuali jika hewan tersebut tidak memiliki darah seperti kepiting.
Keenam: Setiap hewan air yang membawa dampak bahaya ketika dikonsumsi, tidak boleh dimakan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisa’: 29)
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”  (QS. Al Baqarah: 195)
Ringkasnya, hewan yang hidup di air itu halal kecuali katak dan hewan lainnya yang dapat membawa dampak bahaya ketika dikonsumsi. Wallahu a’lam bish showab.
Selesai sudah pembahasan kami seputar hewan air. Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Cinta Dua Alam

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Cinta Dua Alam - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger